Senin, 12 Maret 2012

Pengalaman Pribadi

    Saya teringat pengalaman diri sendiri saat masih jadi murid SMA di Bogor. Saya termasuk salah satu mrid yang aktif dan semangat. Memang sejak sekolah di SMP saya sudah semangat dan senang belajar. Nah,, saat di SMA inilah semangat saya menjadi2.
Masuk ke Rohis, berkenalan dengan teman2 yang luar biasa, senantiasa mengumandangkan pekikan takbir untuk menyemangati diri sendiri. Saya memang termasuk orang yg semangat mendukung ormas Islam saat itu, dan sesuatu yg "berbau" keislaman, termasuk salah satu parpol Islam yang sekarnag berubah nama dengan penambahan "S" di belakangnya. 
    Suatu waktu, dalam sebuah acara yang diselenggarakan oleh Rohis SMA, saya bertindak sebagai MC dan terbiasa menyemangati dan mengajak audiens peserta untuk bertakbir. Hampir seluruh peserta pun turut bertakbir. Dalam acara itu terdapat pembicara yang masih muda dan seumuran mahasiswa saat itu, ia adalah salah seorang munsyid dari salah satu kelompok nasyid haroki yang terkenal. Pembicara ini pada akhir acara berkumpul2 dengan kami, panitia acara, beliau mengatakan bahwa sangat mengagumkan sekali mendengar dan melihat audiens semangat memekikkan takbir dalam masjid, tapi, lanjut pembicara itu, bertakbir itu bukan sekadar bertakbir, bukan sekadar mengumandangkan takbir melainkan harus ada emosi atau penghayatan atas takbir tersebut.
     Mendengar pernyataan sang pembicara, saya merasa bahwa pernyataan itu ditujukan kepada saya untuk mengkritik. Saya merasa terpukul sekali dengan pernyataannya. Bagi saya, bertakbir itu untuk menyemangati diri saya sendiri untuk tetap bergairah dan aktif. Tapi, barangkali menurut sang pembicara, takbir harus disertai dengan penghayatan jiwa. Tidak aneh memang jika ia mengatakan hal itu. karena dalam setiap nasyid yang dibawakan oleh kelompok nasyid harokinya selalu dibawakan dengan penuh penjiwaan. Saya berpikir saat itu bahwa paradigma ia yang mahasiswa UI  idealis ingin dibawa ke dalam suasana siswa saat itu secara tiba-tiba. 
      Semenjak acara itu, saya menjadi galau dan kikuk untuk bertakbir dan kikuk mengajak takbir di acara2 Rohis. Hal ini terbawa hingga mahasiswa bahkan sekarang. Saya sudah tidak tertarik lagi untuk memekikkan takbir sambil mengepalkan tangan ke atas. Bila dalam suatu momen2 tertentu yang membuat peserta acara bertakbir dengan semangat, saya bahkan cuma mengucapkan takbir pelan dan datar. Bahkan kini saya sama sekali tidak bertakbir bila ada seruan untuk bertakbir dalam sebuah acara. Saya merasakan semangat saya pun pudar dari waktu ke waktu setelah sang pembicara tersebut berkata hal di atas.
    Saat ini, saya sedang mencari dan memupuk semangat saya semula tanpa perlu anchor berupa takbir dan pergaulan dari gerakan islam. Saat ini saya memilih menjadi semi-liberal ala gue. Tanpa JIL.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar